POSSINDO.COM, Nasional – Direktur Utama PT Refined Bangka Tin (RBT) sejak 2018, Suparta, yang menjadi terdakwa dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk periode 2015–2022, meninggal dunia.
Suparta mengembuskan napas terakhir pada Senin (28/4), dalam
kondisi perkaranya belum berkekuatan hukum tetap (inkrah). Ia tengah mengajukan
upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
Lantas, bagaimana kelanjutan kasus ini setelah Suparta
meninggal dunia?
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli
Siregar, menyatakan bahwa kewenangan menuntut pidana gugur jika terdakwa
meninggal dunia. Menurutnya, saat ini kejaksaan masih menunggu tindak lanjut
dari Jaksa Penuntut Umum (JPU).
"Terkait statusnya akan disikapi oleh Penuntut Umum
karena menurut hukum, tersangka atau terdakwa yang meninggal dunia maka
kewenangan menuntut pidana gugur atau hilang," ujar Harli saat
dikonfirmasi, Selasa (29/4).
Penjelasan Harli merujuk pada Pasal 77 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP). Dikutip dari laman hukum online, R. Soesilo dalam bukunya KUHP
Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menjelaskan bahwa Pasal
77 mengandung prinsip bahwa penuntutan pidana hanya ditujukan kepada pribadi
pelaku. Maka jika pelaku meninggal, tuntutan atas peristiwa pidana tersebut
tidak dapat diteruskan, termasuk kepada ahli waris.
Namun, bagaimana dengan pembayaran ganti rugi sebesar Rp4,57
triliun yang dibebankan kepada Suparta?
Harli menjelaskan bahwa JPU akan mengkaji kemungkinan
gugatan perdata guna memulihkan aset hasil tindak pidana korupsi. "Terkait
dengan kewajiban uang pengganti, Penuntut Umum juga akan mengkaji dan mengambil
langkah-langkah, di mana berdasarkan Pasal 34 UU No. 31/1999, JPU menyerahkan
salinan berkas berita acara sidang ke Jaksa Pengacara Negara (JPN) untuk
dilakukan gugatan," jelasnya.
Dalam perkara bernomor 4/PID.SUS-TPK/2025/PT DKI, Suparta
sebelumnya dijatuhi vonis oleh majelis hakim banding yang dipimpin Subachran
Hardi Mulyono, dengan hakim anggota Budi Susilo, Teguh Harianto, Fauzan, dan
Anthon R. Saragih. Panitera pengganti adalah Isarael Situmeang.
Suparta divonis lebih berat dibandingkan putusan Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat. Dalam vonis banding, ia dijatuhi
hukuman pidana penjara 10 tahun subsider untuk pembayaran uang pengganti Rp4,57
triliun, serta denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan.
Sementara di tingkat pertama, Suparta divonis 8 tahun
penjara dengan denda yang sama dan kewajiban membayar uang pengganti yang juga
bernilai Rp4,57 triliun, namun dengan subsider 6 tahun penjara.
Vonis banding tersebut belum inkrah karena Suparta
mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung sebelum meninggal dunia.
Sumber : cnnindonesia.com