Terdakwa Wafat, Kelanjutan Kasus Timah Rp4,57 Triliun Dipertanyakan

Terdakwa kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah tahun 2015-2022 Suparta bersiap menjalani sidang putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (23/12/2024). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/tom.(Antara Foto / Aprillio Akbar)

POSSINDO.COM, Nasional –
Direktur Utama PT Refined Bangka Tin (RBT) sejak 2018, Suparta, yang menjadi terdakwa dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk periode 2015–2022, meninggal dunia.

Suparta mengembuskan napas terakhir pada Senin (28/4), dalam kondisi perkaranya belum berkekuatan hukum tetap (inkrah). Ia tengah mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung (MA).

Lantas, bagaimana kelanjutan kasus ini setelah Suparta meninggal dunia?

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, menyatakan bahwa kewenangan menuntut pidana gugur jika terdakwa meninggal dunia. Menurutnya, saat ini kejaksaan masih menunggu tindak lanjut dari Jaksa Penuntut Umum (JPU).

"Terkait statusnya akan disikapi oleh Penuntut Umum karena menurut hukum, tersangka atau terdakwa yang meninggal dunia maka kewenangan menuntut pidana gugur atau hilang," ujar Harli saat dikonfirmasi, Selasa (29/4).

Penjelasan Harli merujuk pada Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dikutip dari laman hukum online, R. Soesilo dalam bukunya KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menjelaskan bahwa Pasal 77 mengandung prinsip bahwa penuntutan pidana hanya ditujukan kepada pribadi pelaku. Maka jika pelaku meninggal, tuntutan atas peristiwa pidana tersebut tidak dapat diteruskan, termasuk kepada ahli waris.

Namun, bagaimana dengan pembayaran ganti rugi sebesar Rp4,57 triliun yang dibebankan kepada Suparta?

Harli menjelaskan bahwa JPU akan mengkaji kemungkinan gugatan perdata guna memulihkan aset hasil tindak pidana korupsi. "Terkait dengan kewajiban uang pengganti, Penuntut Umum juga akan mengkaji dan mengambil langkah-langkah, di mana berdasarkan Pasal 34 UU No. 31/1999, JPU menyerahkan salinan berkas berita acara sidang ke Jaksa Pengacara Negara (JPN) untuk dilakukan gugatan," jelasnya.

Dalam perkara bernomor 4/PID.SUS-TPK/2025/PT DKI, Suparta sebelumnya dijatuhi vonis oleh majelis hakim banding yang dipimpin Subachran Hardi Mulyono, dengan hakim anggota Budi Susilo, Teguh Harianto, Fauzan, dan Anthon R. Saragih. Panitera pengganti adalah Isarael Situmeang.

Suparta divonis lebih berat dibandingkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat. Dalam vonis banding, ia dijatuhi hukuman pidana penjara 10 tahun subsider untuk pembayaran uang pengganti Rp4,57 triliun, serta denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan.

Sementara di tingkat pertama, Suparta divonis 8 tahun penjara dengan denda yang sama dan kewajiban membayar uang pengganti yang juga bernilai Rp4,57 triliun, namun dengan subsider 6 tahun penjara.

Vonis banding tersebut belum inkrah karena Suparta mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung sebelum meninggal dunia.

 

Sumber : cnnindonesia.com

 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال