![]() |
Fenomena Rojali Jadi Tanda Daya Beli Melemah. Foto/SHUTTERSTOCK/MINERVA STUDIO |
POSSINDO.COM, Ekonomi - Badan Pusat Statistik (BPS) menilai fenomena 'rojali' atau rombongan jarang beli bisa menjadi penanda masyarakat sedang menahan konsumsi.
Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Ateng Hartono mengatakan BPS belum membuat survei khusus soal rojali. Namun, ia tak menampik gejala ini bisa menjadi penanda awal tekanan ekonomi.
"Fenomena rojali memang belum tentu mencerminkan tentang kemiskinan, tetapi tentunya ini relevan juga sebagai gejala sosial. Bisa jadi ada (karena kebutuhan) untuk refresh atau tekanan ekonomi, terutama kelas yang rentan," kata Ateng pada konferensi pers di Kantor BPS, Jakarta, Jumat (25/7).
Dia menyampaikan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas)
2025 memang mencatat kecenderungan masyarakat menahan konsumsi. Namun, ia
berkata hal ini belum bisa disimpulkan berpengaruh ke kemiskinan.
Ateng menjelaskan fenomena rojali belum tentu mencerminkan kondisi kemiskinan
secara langsung karena yang terdampak justru kelompok atas dan menengah.
Dalam konteks kebijakan, Ateng menilai rojali dapat menjadi pertimbangan
penting bagi pemerintah untuk tak hanya fokus menurunkan angka kemiskinan,
tetapi juga menjaga ketahanan konsumsi rumah tangga.
"Rojali adalah sinyal penting bagi membuat kebijakan untuk tidak hanya fokus
ya menurunkan angka kemiskinan, tetapi juga memperhatikan bagaimana untuk
ketahanan konsumsi dan stabilitas ekonomi rumah tangga pada kelas menengah
bawah," ucapnya.
"Amati apakah yang rojalinya itu ada pada kelas atas, kelas menengah, atau
rentan, atau bahkan yang di kelas miskinnya," imbuh Ateng.
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI)
Alphonsus Widjaja menyatakan rojali kembali mencuat pada tahun ini. Menurutnya,
tren ini terjadi akibat berkurangnya daya beli masyarakat, khususnya kelompok
menengah ke bawah.
"Sekarang memang terjadi ini (fenomena rojali) lebih karena faktor daya
beli, khususnya yang di kelas menengah bawah. Kan daya belinya berkurang, uang
yang dipegang semakin sedikit, tetapi mereka tetap datang ke pusat
perbelanjaan," kata Alphonsus ditemui di Jakarta Timur, Selasa (23/7).
Ia mencatat kunjungan ke pusat perbelanjaan meningkat sekitar 10 persen
dibandingkan tahun lalu, tapi jauh dari target 20-30 persen. Meski pengunjung
bertambah, jumlah belanja tetap minim. Mayoritas masyarakat datang hanya untuk
melihat-lihat atau belanja dalam jumlah kecil.