![]() |
Tuntutan Aliansi Reformasi KUHAP yang diterima oleh Setwan DPRD Kalteng. Foto/Gd |
POSINDO.COM, PALANGKA RAYA – Mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Reformasi KUHAP kembali menggelar aksi damai di depan Kantor DPRD Kalimantan Tengah pada Jumat, 1 Agustus 2025. Walapun aksi telah berlangsung selama empat hari berturut-turut. Namun hingga kini belum mendapat respons resmi dari pihak legislatif, terutama Ketua DPRD Kalteng.
Koordinator Lapangan Aksi, Glennio Sahat Solu Sihombing, menyatakan bahwa aksi kali ini merupakan bentuk ultimatum terakhir. Sebelumnya, berbagai upaya penyampaian aspirasi telah dilakukan, namun tidak digubris.
“Telah melakukan empat hari aksi damai secara tertib dan santun sesuai prosedur birokrasi, namun tidak direspons oleh pihak DPRD Kalteng,” ujarnya.
Glennio menambahkan bahwa ketiadaan respons dari Ketua DPRD yang hingga kini belum menemui massa aksi telah menimbulkan kekecewaan dan kemarahan di kalangan peserta aksi, yang merasa sebagai masyarakat tertindas.
“Sampai saat ini Ketua DPRD Kalteng belum menemui massa aksi, sehingga menimbulkan kekecewaan dan kemarahan di kalangan peserta aksi sebagai masyarakat yang merasa tertindas,” lanjutnya.
Ia menegaskan, pihaknya tetap akan menunggu kehadiran Ketua DPRD meski diinformasikan bahwa yang bersangkutan baru dapat hadir setelah 8 Agustus karena sedang mengikuti PSU di Barito Utara. Dalam aksi ini, mereka juga membawa sejumlah isu strategis yang menjadi landasan tuntutan.
“Menegaskan bahwa tuntutan mereka mencakup isu-isu strategis seperti narasi Indonesia Cemas 2045, penulisan ulang sejarah nasional, kesepakatan dagang Prabowo dan Trump yang dianggap merugikan negara, penindasan terhadap masyarakat adat, dan kritik terhadap visi Indonesia Emas 2045 yang dinilai tidak berpihak pada rakyat kecil,” tegasnya.
Sekretaris Lapangan Aksi, Gratsia Christopher, menyoroti bahwa aspirasi mereka harus diterima langsung oleh DPRD, khususnya ketuanya, bukan oleh staf sekretariat.
“Agar kami diterima oleh DPRD Kalteng bukan pegawai administrasi DPRD. Khususnya ketua DPRD yang memiliki wewenang dan kapasitas untuk menerima dan menyampaikan aspirasi kami.” ucap Gratsia.
Pada aksi kali ini, massa juga mengibarkan bendera One Piece sebagai simbol perlawanan damai. Gratsia menjelaskan bahwa simbol ini digunakan sebagai bentuk ekspresi kebebasan sipil.
“Dalam aksi hari ini massa membawa bendera One Piece sebagai simbol kebebasan dan perlawanan tanpa kekerasan. Pengibaran bendera One Piece bukan bentuk makar atau upaya memecah persatuan bangsa, melainkan bentuk pernyataan simbolik dari semangat pembebasan seperti yang digambarkan oleh tokoh Luffy dalam serial tersebut,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa fenomena pengibaran bendera tersebut juga marak terjadi menjelang HUT RI ke-80.
“Pengibaran bendera ini juga telah menjadi fenomena menjelang HUT RI ke-80, di mana banyak warga mengibarkan bendera One Piece di rumah dan kendaraan mereka. Menegaskan bahwa simbol tersebut digunakan untuk menyuarakan kebebasan sipil secara damai tanpa kekerasan,” tambahnya.
Adapun 11 poin tuntutan yang disampaikan dalam aksi tersebut antara lain:
* Menuntut DPR RI untuk mencabut dan menunda pengesahan RUU KUHAP yang masih memuat pasal-pasal bermasalah serta pasal karet yang mengancam hak asasi manusia dan prinsip due process of law.
* Menuntut pelibatan publik secara komprehensif dan substansial dalam pembahasan RUU KUHAP serta evaluasi menyeluruh terhadap peraturan pidana yang represif.
* Menolak kesepakatan dagang Prabowo–Trump dan menuntut transparansi penuh karena dinilai merusak kedaulatan ekonomi nasional.
* Menuntut prioritas pengelolaan SDA dan kedaulatan pangan, bukan kepentingan diplomasi transaksional, serta hentikan praktik neo-kolonialisme ekonomi.
* Menolak pembangunan yang menindas rakyat dan merusak lingkungan, terutama proyek ekstraktif atas nama visi 2045 yang mengorbankan ruang hidup masyarakat adat.
* Menuntut fokus pembangunan pada kesejahteraan rakyat dan penguatan SDM, termasuk sistem pendidikan, kesehatan, dan energi berdaulat.
* Mendesak penghentian manipulasi sejarah, serta memulihkan narasi sejarah yang berkeadilan.
* Menolak politisasi sejarah dan mendesak penulisan ulang sejarah yang melibatkan sejarawan independen dan masyarakat sipil.
* Menghentikan segala bentuk represi dan kriminalisasi terhadap kebebasan berekspresi dan berkumpul.
* Mendesak DPRD Kalteng untuk menyatakan sikap terhadap kebijakan yang menindas dan tidak menguntungkan masyarakat Kalimantan Tengah.
* Menuntut DPRD Kalteng menyampaikan aspirasi masyarakat ke pemerintah pusat sebagai bentuk tanggung jawab moral dan politik terhadap konstituen daerah.
Mahasiswa menyatakan bahwa jika dalam waktu tiga hari ke depan tidak ada tanggapan dari pihak DPRD, maka mereka akan mempertimbangkan langkah lanjutan yang lebih tegas namun tetap dalam koridor hukum. ( Gd)
Tags
Kota Palangkaraya