Foto erupsi Gunung anak Krakatau, letusan Gunung Krakatau.Foto/
SHUTTERSTOCK/feygraphy |
Letusan Krakatau bahkan memicu tsunami. Dan tsunami ini
dituding sebagai penyebab sebagian besar kematian dalam kejadian bersejarah
pada tahun 1883.
Namun, sains dan pemicu pasti di balik bencana semacam itu sebagian
besar masih belum diketahui. Untuk membantu para ilmuwan memprediksi keruntuhan
lereng gunung berapi, Christelle Wauthier, profesor madya di Departemen
Geosains The Pennsylvania State University (Penn State) dan direktur pusat ilmu
komputasi di Institute for Computational and Data Sciences, telah memimpin
pengembangan model baru yang dapat mengukur stabilitas gunung berapi.
Model-model yang ia teliti tersebut telah terbit di Journal
of Geophysical Research: Solid Earth. Model ini diharapkan bisa membantu
pemerintah daerah dan masyarakat dengan mengevaluasi potensi keruntuhan jauh
sebelum tanah itu runtuh sepenuhnya secara tiba-tiba.
“Masuknya magma di bawah gunung berapi memberikan tekanan
yang sangat besar pada kerak bumi — jauh lebih kuat daripada tekanan air,” kata
Wauthier, seperti dikutip dari keterangan tertulis Penn State.
“Magma memberikan tekanan yang sangat besar pada batuan yang
dapat menyebabkan gunung berapi tidak stabil dan menyebabkan keruntuhan. Namun,
kita belum benar-benar mengetahui kondisi pasti yang mendukung ketidakstabilan,
dan mengevaluasi faktor-faktor pemicunya cukup rumit,” jelasnya.
Mengambil sebagian dari contoh nyata pergeseran lereng
gunung berapi — termasuk situs-situs di Hawaii yang mengalami keruntuhan —
Wauthier dan rekan-rekan penelitinya mengembangkan cara untuk memprediksi
bagaimana lereng akan merespons kenaikan magma dalam berbagai kondisi.
Magma adalah batuan cair yang menjadi lava setelah muncul ke
permukaan Bumi. Mereka juga mengevaluasi di mana kemungkinan terjadinya
pergeseran permukaan lebih besar atau lebih kecil, sejalan dengan perubahan
stabilitas yang diperkirakan
Model-model baru mereka dibangun berdasarkan pengetahuan
sebelumnya tentang lokasi magma. Magma yang naik di bawah gunung berapi dapat menyebabkan
pergeseran pada patahan yang ada — area rekahan tempat dua blok batuan dapat
bergerak relatif satu sama lain. Pergeseran di titik-titik ini pada akhirnya
dapat menyebabkan keruntuhan.
“Jika Anda memiliki gambaran tentang area gunung berapi mana
yang lebih rentan terhadap keruntuhan, Anda dapat menempatkan sensor berbasis
darat seperti seismometer atau GPS untuk memantau lereng yang berisiko setiap
menit atau jam, jauh sebelum keruntuhan terjadi,” kata Wauthier, yang juga
merupakan staf pengajar di Earth and Environmental Systems Institute.
Untuk membantu membuat prediksi keruntuhan lereng gunung
berapi ini, tim peneliti berfokus pada kemiringan patahan, atau sudut patahan
atau rekahan batuan relatif terhadap permukaan horizontal.
Para peneliti menemukan bahwa tanah lebih mungkin runtuh di lereng dengan kemiringan patahan dangkal di bawah permukaan — khususnya jika magma membuka kerak di bawah puncak gunung berapi. Seperti tumpukan balok yang berdampingan di perosotan taman bermain, kemiringan patahan yang lebih vertikal di lereng yang lebih curam juga rentan terhadap ketidakstabilan, kata para peneliti.
Mereka mencatat bahwa topografi memiliki dampak yang cukup
besar terhadap prediksi pergerakan tanah. Ini adalah faktor yang sering
diabaikan dalam penelitian lain.
“Penelitian fundamental ini dapat memiliki aplikasi yang
bermanfaat untuk menilai lebih baik bahaya keruntuhan spesifik dan area gunung
berapi yang lebih rentan terhadap ketidakstabilan,” kata Wauthier.
“Dalam jangka panjang, mendorong penelitian jenis ini dapat
membantu masyarakat yang tinggal di sekitar gunung berapi dengan memberi mereka
waktu untuk bersiap dan mengungsi sebelum keruntuhan terjadi jika diperlukan,”
tegasnya.
Secara historis, katanya, keruntuhan yang disebabkan oleh
aktivitas gunung berapi telah menjadi ancaman khusus bagi kehidupan manusia.
Ketika Gunung St. Helens meletus pada Mei 1980, keruntuhannya menghilangkan
tutup reservoir magmanya, mengakibatkan letusan eksplosif yang lebih besar dan
lebih dahsyat.
Secara keseluruhan, 57 orang tewas dalam letusan Gunung St.
Helens. Selain itu, 27 jembatan dan hampir 200 rumah hancur.
Seabad sebelumnya, letusan Gunung Krakatau pada Agustus 1883
— contoh lain keruntuhan gunung berapi — menyebabkan lebih dari 36.000 kematian
dan menghancurkan puluhan desa. Gelombang tsunami tercatat setinggi lebih dari
30 meter.
Letusan Gunung Krakatau membuat gunung itu hancur dan
menjadi gunung yang lebih kecil: Anak Krakatau. Saat Gunung Anak Krakatau
runtuh dan meletus pada Desember 2018, lebih dari 400 orang tewas di tengah
tsunami dahsyat. Wauthier dan rekan-rekannya juga mempelajari peristiwa
tersebut dan menemukan bahwa lereng gunung tersebut telah bergeser selama
bertahun-tahun.
“Runtuhnya gunung berapi ini bisa sangat, sangat berbahaya,”
jelas Wauthier, yang penelitiannya berfokus pada mitigasi bencana alam akibat
gunung berapi, tanah longsor, dan gempa bumi.
Wauthier mengatakan gunung berapi yang paling eksplosif
terbentuk di sepanjang busur subduksi, tempat satu lempeng tektonik tersubduksi
atau terkubur di bawah lempeng lainnya. Banyak gunung berapi zona subduksi
terletak di sepanjang garis pantai, termasuk di Indonesia dan di sepanjang
Kepulauan Aleut di Alaska. Gunung berapi di Hawaii juga bisa tidak stabil di beberapa
tempat, meskipun tidak seeksplosif gunung berapi di daerah subduksi, kata
Wauthier.
Ia berharap model ini dapat diteliti lebih lanjut untuk
makin meningkatkan akurasinya. Menurutnya, penelitian lanjutan antara lain
dapat berfokus pada penguatan kalkulasi model dan pengujian model dalam
berbagai kondisi lain.
Sumber:nationalgeographic.com
