Sejarah Kelam Regu Pembunuh Intelijen Belanda di Indonesia 1945–1950

Marinir Belanda menginterogasi prajurit TNI yang ditangkap di dekat Surabaya (Jawa Timur), Agustus 1948.Foto/natgeografic.com

POSSINDO.COM, Ragam -Selama masa Revolusi Indonesia (1945–1950), pasukan intelijen militer Belanda diam-diam membentuk satuan khusus yang dikenal sebagai 'regu pembunuh'.

Tugas mereka jelas, memburu dan melenyapkan musuh yang dianggap mengancam kepentingan kolonial. Fakta kelam ini diungkap sejarawan Rémy Limpach dalam bukunya Tasten in het duister (Meraba dalam Gelap).

Ia juga menemukan bahwa penyiksaan kerap digunakan sebagai alat untuk memperoleh informasi, meski praktik itu secara resmi dilarang.

Temuan Limpach membuka tabir baru mengenai keberadaan 'regu pembunuh' yang beroperasi di berbagai daerah, terutama di Jawa Barat dan Jawa Timur. Di beberapa wilayah seperti Jawa Tengah dan Sumatera Barat, jejak mereka juga terekam, meski tidak sebanyak di dua wilayah utama tersebut.

Kelompok ini dibentuk oleh satuan intelijen dan keamanan militer Belanda (IVG) serta Brigade Keamanan Laut (VDMB). Mereka terdiri dari prajurit Belanda, serdadu Indo-Eropa, hingga orang Indonesia, termasuk tentara Maluku yang dianggap lebih mudah berbaur di lapangan.

Selain membunuh tokoh-tokoh yang dituduh sebagai “pemimpin geng” atau pejuang republik, regu ini juga bertugas mengumpulkan informasi dan menangkap lawan yang dicurigai melakukan spionase maupun sabotase.

Mereka bergerak secara independen, tanpa banyak campur tangan dari komando atas. Namun para perwira tinggi kerap mengetahui bahkan menyetujui operasi mereka. Beberapa anggota regu pembunuh bahkan menerima penghargaan militer atas “tugas yang berhasil diselesaikan.”

Limpach menggambarkan bagaimana penyiksaan terhadap tahanan dilakukan secara sistematis, meski tidak semua unit terlibat. Bentuknya bermacam-macam: pemukulan hingga setrum listrik.

Hukuman bagi pelaku hampir tidak pernah dijatuhkan, dan praktik kejam ini secara de facto menjadi “kebijakan tak tertulis” di tubuh intelijen Belanda. Sebagian besar aksi brutal dilakukan oleh KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger) atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda.

Mereka dianggap lebih memahami bahasa dan budaya setempat, sementara para perwira Belanda tetap hadir dan terkadang ikut terlibat langsung dalam penyiksaan.

Namun efektivitas kekerasan ini justru dipertanyakan. Beberapa petugas intelijen sendiri menganggap penyiksaan kontraproduktif karena banyak korban akhirnya menutup diri atau memberikan informasi palsu hanya untuk menghentikan siksaan.

Meski intelijen Belanda mengerahkan ribuan agen, hasilnya jauh dari memuaskan. Limpach menulis, mereka seperti “petinju yang bertarung dengan mata tertutup”, menyerang tanpa arah, sementara lawan telah lebih dulu mengetahui langkah mereka. Banyak operasi gagal karena bocornya informasi ke pihak republik.

Sebaliknya, jaringan intelijen Indonesia jauh lebih solid. Tentara Nasional Indonesia (TNI) memiliki struktur intelijen yang kuat hingga ke akar masyarakat. Tak jarang, perempuan Indonesia seperti babu dan pekerja seks menjadi mata-mata yang menyusup ke pos-pos Belanda.

Salah satu kisah menarik yang dicatat Limpach adalah bagaimana seorang pengasuh memberi sinyal kepada pejuang dengan cara sederhana, menjemur cucian berwarna tertentu saat pasukan Belanda bersiap berpatroli.

Meskipun badan intelijen militer Belanda terbukti bersalah atas kekerasan ekstrem, rekan-rekan mereka di Indonesia juga jauh dari sempurna. Mereka juga menyiksa dan membunuh.

Korbannya bukanlah orang Belanda, melainkan orang Indonesia yang bekerja sama dengan Belanda atau hanya dicurigai melakukannya. Namun, Limpach menegaskan bahwa perjuangan Republik Indonesia merupakan perang yang sah melawan kekuasaan kolonial yang berupaya menghapus Republik dari peta dunia.

Lebih dari tujuh dekade berlalu, kisah kelam “regu pembunuh” ini tetap menjadi pengingat betapa gelapnya sisi perang yang jarang tersentuh catatan sejarah resmi.

Sumber:nationalgeographic.id.com

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال