Retreat Kepala Dinas: Kegiatan Tanpa Dasar Hukum dan Minim Urgensi

 

Akhmad Wahyuni., S.Sos, M.IP. Foto/IST

POSSINDO.COM, OPINI - Dalam dua hari terakhir, al fakir banyak mengantongi berbagai macam pertanyaan dari berbagai kalangan, baik dari kalangan tokoh masyarakat, rekan-rekan jurnalis yang dulu pernah menjalin hubungan baik dengan al fakir sewaktu memimpin salah satu Organisasi Perangkat Daerah yang membidangi komunikasi dan informasi (Diskominfo) maupun dari kalangan paman pentol hingga paman – paman lainnya.

Diusia yang sudah tidak lagi muda ini, sebenarnya al fakir berfikir untuk istirahat dari hiruk pikuk duniawi dan lebih mendekatkan diri kepada-Nya, karena adalah sebuah keniscayaan bahwa pada akhirnya kita semua akan berpulang. 

Well .. sebagai tanggung jawab moral dan tanggung jawab apapun itu namanya, al fakir mencoba mengulas satu dari sekian banyak pertanyaan yang masuk kepada al fakir,  karena keterbatasan tidak mungkin semuanya bisa al fakir jawab. Pertanyaan yang al fakir maksud dalam hal ini adalah perihal kegiatan berupa retreat para pejabat dilingkungan Pemerintah Kabupaten Barito Kuala, apa dasar hukumnya ?? dan apa urgensinya??? Baiklah, al fakir akan coba menjawab secara terstruktur dan sistematis agar mudah dipahami rekan-rekan pembaca sekalian dengan mudah, dimulai dari:

APA DASAR HUKUMNYA RETREAT???

Dalam tata kelola pemerintahan pada prinsipnya setiap kegiatan yang menggunakan anggaran daerah wajib memiliki dasar hukum yang kuat. Mulai dari regulasi, standar biaya, hingga keterkaitannya dengan program prioritas. Namun menurut al fakir, kegiatan semacam “retreat kepala dinas” itu sama sekali tidak dikenal dalam struktur regulasi resmi baik dalam Permendagri, Peraturan Kepala Daerah, maupun perangkat hukum lain yang mengatur tentang  pengembangan kompetensi aparatur jika dikaitkan dengan persoalan kompetensi. Sehingga jika kegiatan ini dikategorikan semisal rapat koordinasi, bimbingan teknis, atau peningkatan kapasitas, maka terjadi penyesuaian terminologi yang tidak tepat, mengapa? Karena konsep retreat sendiri secara esensial tidak bersifat teknis maupun administratif, tetapi lebih banyak pada aktivitas yang bersifat simbolik, lalu jika ditanya apa dasar hukumnya?? Ya tidak ada alias Big no. Namun ketika al fakir menjawab seperti itu, lalu ada yang nyeletuk bahwa ada anggota DPRD yang mengatakan bahwa dasar hukum Ret Reat (mungkin yang dimaksud adalah retreat) adalah pasal 6 ayat 2 dan 3 UU. No. 23 Tahun 2019 Tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional.

Nah .. sebelum al fakir menjawab, seyogyanya ketika pertanyaan ini mencuat diruang publik, yang lebih berkompeten untuk menjawab pertanyaan ini adalah bagian yang menangani hubungan masyarakat (Bag. Humas) Sekreatariat Daerah Kabupaten, walaupun dalam hal ini ya sah-sah saja kalaupun ada anggota DPRD yang mau jawab, walaupun bukan tugasnya ya silahkan namun jawabannya belum tentu benar toh??

Selanjutnya mari kita ulas apakah benar pasal 6 ayat 2 dan 3 UU. 23/2019 itu merupakan dasar hukum kegiatan retreat yang dimaksud. Maka dalam hal ini al fakir berpendapat jawabannya jelas tidak. Mengapa?  Sebelum melangkah lebih jauh kepada penafsiran hukum, patut kita ketahui bersama, bahwa setiap Undang-Undang itu memiliki ruang lingkupnya sendiri, sehingga penafsiran hukumnya tidak keluar dari konteks yang ingin diatur oleh Undang – Undang tersebut mengingat hukum itu memiliki tujuan yang salah satunya adalah kepastian hukum sehingga peraturan tidak bisa ditafsir secara liar. Lalu sebenarnya ruang lingkup UU. 23/2019 itu apa? sepemahaman al fakir ketika membaca undang – undang tersebut, ruang lingkupnya bersifat khusus  yang hanya mengatur pada komponen cadangan, komponen pendukung, mobilisasi, bela negara, dan penggunaan sumber daya nasional untuk pertahanan, serta peran warga dalam pertahanan negara. 

Nah.. lalu untuk menjawab pertanyaan diawal (dasar hukum retreat) maka yang perlu kita ketahui terlebih dahulu adalah sumber pembiayaanya… disini kuncinya reng,…eh.. boy ae. Berdasarkan informasi yang al fakir dapat dari beberapa sumber, bahwa retreat yang dilaksanakan para pejabat Pemerintah Kabupaten Barito Kuala sumber pembiayaannya berasal dari Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah (APBD), sedangkan APBD merupakan instrumen resmi tata kelola pemerintahan daerah yang notabene merupakan ruang lingkupnya ada pada UU. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah (Vide: pasal 1 ayat 32 Bab I. Ketentuan umum) , maka otomatis UU. 23/2019  tidak bisa menjadi dasar hukum kegiatan retreat karena adanya perbedaan ruang lingkup pada kedua aturan tersebut, faham? Bahasa sederhananya setiap sen yang keluar dari APBD merupakan perwujudan dari kegiatan tata kelola pemerintahan daerah yg merupakan bukan domain dari UU. 23/2019 yang menitik beratkan kekhususannya pada sektor pertahanan. 

Bahkan menyangkut APBD diatur lebih rigit pada PP. 12/2019 tentang pengelolaan keuangan daerah. Lebih jauhnya lagi, karena sumber pembiayaan kegiatan retreat berasal dari APBD, kalau mau cari pembenaran, ya carilah pasal pada UU. 23/2014 Juncto PP. 12/2019 sebagai bahan cocoklogi, ada??? Yaa takde lah. 

Bagaimanapun juga, retreat bukan bagian dari pelatihan/peningkatan kompetensi ASN,  rapat koordinasi pemerintahan, evaluasi kinerja formal maupun kegiatan yg berada pada scope ruang lingkup pemerintahan yang menurut hemat al fakir pada prinsipnya tidak bisa dibiaya dari APBD. 

Minim Urgensi dalam Konteks Pemerintahan Daerah

Bila ditinjau dari aspek kebutuhan organisasi, sebenarnya retreat kepala dinas juga tidak memiliki urgensi yang jelas. patut diketahui,  Kepala dinas adalah pejabat struktural yang sudah seharusnya menjalankan fungsi koordinasi, evaluasi, dan perencanaan dalam format kerja formal yang diatur regulasi baik Undang-Undang, peraturan pemerintah maupun permendagri dan permenpan. 

Urgensi pengembangan kompetensi sudah difasilitasi melalui jalur resmi, seperti pelatihan teknis, manajerial, dan sosial kultural melalui LAN, BPSDM, atau pusat pelatihan yang terakreditasi. Oleh sebab itu, kegiatan retreat tidak memberikan nilai tambah signifikan selain simbol penyegaran yang sebenarnya dapat dilakukan tanpa mengorbankan anggaran publik. Pemerintahan daerah itu sebenarnya memiliki skala prioritas yang jauh lebih konkret dan mendesak, seperti peningkatan layanan publik, kualitas belanja, percepatan pembangunan, dan pengentasan masalah sosial dan ekonomi masyarakat. 

Ketika pejabat tinggi menghabiskan waktu dan anggaran untuk retreat, muncul kesan bahwa birokrasi lebih sibuk dengan aktivitas internal ketimbang menyelesaikan persoalan yang paling mendasar ditengah –tengah masyarakat. Selain itu, kegiatan semacam ini justru dapat menimbulkan persepsi publik bahwa pejabat mencari ruang “liburan terselubung” yang dibalut jargon kerja, padahal hasilnya tidak terukur dan tidak memiliki implikasi langsung terhadap tata kelola pemerintahan.

Demikian jawaban al fakir, wa akhirul kalam….

Oleh : Akhmad Wahyuni., S.Sos, M.IP

Pensiunan ASN pada Pemerintah Kabupaten Barito Kuala, Alumni APDN Kota Banjarbaru dan Magister Ilmu Pemerintahan Univ. Lambung Mangkurat.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال