![]() |
Asmaraman Sukowati alias Kho Ping Hoo, salah satu penulis cerita legendaris yang dimiliki Indonesia. Foto/Net |
POSSINDO.COM- Mungkin banyak yang masih asing dengan nama Asmaraman Sukowati namun berbeda Ketika menyebut nama Kho Ping Hoo. Maka orang akan langsung mengingatnya dengan banyak karya cerita silat yang melegenda. Iya, Asmaraman Sukowati alias Kho Ping Hoo adalah penulis novel dan cerita silat yang terkenal.
Tidak kurang dari 400 judul cerita silat ditulis oleh pria kelahiran Sragen, 17 Agustus 1926 itu. Bahkan, beberapa judul ada yang terdiri hingga sekitar 35 jilid. Banyak cerita silat karangan Kho Ping Hoo yang terkenal pada masanya seperti Bu Kek Siansu, Pedang Kayu Harum, Pendekar Super Sakti, Badai Laut Selatan, Iblis dan Bidadari, Darah Mengalir di Borobudur, Keris Pusaka Nogopasung dan masih banyak lagi.
Namun, penulis itu sudah tiada, yakni pada 22 Juli 1994 lalu, di RS Kasih Ibu, Solo, karena komplikasi penyakit jantung dan ginjal.
Sosok Kho Ping Hoo
Mengutip Harian Kompas, (12/4/1981), Kho biasanya secara teratur menulis mulai hari Minggu hingga Kamis di Pondok Wisma Damai, sebuah villa mungil di Tawangmangu, daerah pegunungan sekitar 40 kilometer arah timur dari rumah kediamannya di Solo, Jawa Tengah.Dari tempat nyaman berhawa dingin ini, setiap bulan lahir dua atau tiga naskah, yang kemudian dibawa turun gunung untuk kemdian dicetak di percetakan dan penerbitan yang dimiliki oleh menantunya. Buku-buku cerita silatnya kemudian menyebar ke seluruh Indonesia, bahkan hingga ke Negeri Kincir Angin, Belanda.
Berasal Dari Keluarga Miskin
Kho Ping Hoo lahir di Sragen, 17 Agustus 1926 dari orang tua berdarah China-Jawa, Kho Kiem Po. Kehidupannya begitu getir, hingga ia sering menitikkan air mata saat melihat teman-temannya berangkat sekolah, sedangkan ia harus bekerja menjaga toko. Ketika Jepang masuk ke Tanah Air jelang berakhirnya Perang Dunia II, ia pindah ke Surabaya dan beralih profesi sebagai penjual obat.Ia menjajakan pil-pil semacam kina dan lain-lain ke toko-toko. Pada masa ini, ia juga bergabung dan digembleng dalam Kaibotai, semacam hansip Jepang, yang pendidikannya sudah sangat militer.
Pada tahun-tahun krisis itu, 1945, ia bertemu dengan jodohnya. Bermodalkan cinta, ia menikahi Ong Ros Hwa, kelak berganti nama menjadi Rosita, perempuan Sragen kelahiran Yogyakarta. Dari Sragen, dia bersama keluarganya lantas berpindah ke Kudus.
Menjadi Penulis
Sabtu, 23 Juli 1994, debutnya sebagai pengarang dimulai tahun 1958, ketika itu ia pindah ke Tasikmalaya, Jawa Barat. Ia mencoba melemparkan cerita silat serial berjudul Pusaka Naga Putih, dan ternyata banyak diminati. Sejak itu karya-karyanya meluncur, terutama lewat penerbit Analisa Jakarta.Sejumlah karyanya yang terkenal berjudul Bu Kek Siansu, Pendekar Gila, Suling Emas, Cinta Bernoda Darah, Mutiara Hitam, Sepasang Pedang Iblis, Pendekar Super Sakti (dengan tokohnya bernama Suma Han, sebagai kenangan akan putranya nomor dua yang meninggal karena kanker), Istana Pulau Es, Sepasang Rajawali, dan Jodoh Rajawali.
Ia sendiri memang menguasai bahasa Inggris dan Belanda dengan baik, karena pendidikannya sampai HIS, bahkan sempat menginjak MULO walau sebentar. Tidak disangka, justru lewat kedua bahasa itulah, ia banyak membaca literatur China. Satu 'modal' berharga dalam kariernya sebagai penulis cerita silat China.
Kalaupun berbahasa Mandarin, ia mengaku hanya bisa secara pasif. Mengenai penambahan nama Asmaraman Sukowati di depan namanya, hal itu setelah pemerintahan Orde baru mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No 240 Tahun 1967 yang menganjurkan warga keturunan asing mengganti namanya menjadi nama Indonesia.
Pada sebuah kesempatan, Kho mengatakan, meski piawai menulis cerita silat China, dia mengaku belum pernah pergi ke Negeri Tirai Bambu itu.
"Saya baru menginjakkan kaki ke China pertama kali tahun 1985, ketika saya diajak anak saya melancong ke sana. Ya, baru sekali itu," kata dia dalam wawancara dengan Harian Kompas.
Selain literatur China, buku sejarah China kuno, filsafat, buku-buku pengobatan, pernapasan, juga buku tentang ilmu kung thau, modal dan referensi utama Kho dalam mengarang cerita adalah sebuah peta China. Dengan dua modal itulah karya-karya Kho Ping Hoo 'menguasai' fantasi para pembacanya.
Ia juga mengaku tidak bisa silat, apalagi bila dibayangkan sesuai dengan pendekar sakti yang memiliki tenaga dalam menakjubkan seperti dalam karya-karyanya. "Walau ayah saya termasuk ahli kungfu, tapi saya hanya tahu serba sedikit sedikit, cuma jurus-jurus dasarnya saja," ungkap dia semasa hidup. Kho mengaku, tak berambisi untuk menekuni lebih jauh tentang ilmu silat. "Lalu buat apa kalau memiliki itu semua? Kemampuan silat hanya akan menimbulkan kekerasan. Bila kekerasan dibalas kekerasan, itu tak akan ada habisnya," ujar Kho Ping Hoo.
Sumber : Kompas.com
Tags
Profil