![]() |
Aksi Kamisan yang berlangsung di Kota Palangka Raya, pada Kamis 29 Mei 2025 tadi oleh para penyintas dan keluarga korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Foto/Gede |
POSSINDO.COM, PALANGKA RAYA- Suara diam kembali menggema di ruang publik melalui Aksi Kamisan, yang digelar pada kamis 29 Mei 2025 di Taman Tugu Soekarno Kota Palangka Raya oleh para penyintas dan keluarga korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia sebagai bagian dari tradisi perlawanan damai .
Hadir dengan mengenakan pakaian serba hitam dan membawa payung hitam bertuliskan kasus-kasus pelanggaran HAM, para peserta berdiri tegak selama satu jam untuk menyampaikan pesan yang tak kunjung ditanggapi oleh negara.
Aksi Kamisan sendiri telah dimulai sejak 18 Januari 2007 oleh Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) bersama KontraS dan Jaringan Relawan Kemanusiaan (JRK). Kegiatan ini dilakukan setiap hari Kamis pukul 16.00–17.00 WIB di depan Istana Presiden — simbol kekuasaan yang terus ditantang untuk tidak abai terhadap sejarah kelam bangsa.
Peserta Aksi Kamisan memilih diam dan berdiri bukan karena pasrah, melainkan sebagai simbol keteguhan sikap: bahwa korban dan keluarganya masih memiliki hak untuk bersuara, meski melalui diam. Hitam menjadi warna duka yang telah menjadi cinta terhadap keadilan, sementara payung hitam mencerminkan perlindungan terhadap nilai-nilai HAM yang terancam oleh impunitas.
Dalam pernyataan perjuangannya, peserta Aksi Kamisan menyuarakan kembali berbagai tragedi pelanggaran HAM berat yang hingga kini belum menemukan keadilan. Mulai dari tragedi 1965, Penembakan Misterius 1982–1985, Talangsari 1989, Rumoh Geudong dan Pos Sattis Aceh, Penghilangan Paksa 1997–1998, Tragedi Mei 1998, Trisakti dan Semanggi, hingga pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib tahun 2004, serta kekerasan terhadap demonstran pada Reformasi Dikorupsi 2019.
Tiga tuntutan utama disampaikan dalam aksi ini yakni:
Dengan meneriakkan seruan "Hidup korban! Jangan diam! Lawan!", Aksi Kamisan menjadi pengingat keras bahwa perjuangan menuntut keadilan belum usai, dan negara tidak boleh terus berpura-pura lupa atas luka sejarah bangsanya. (Gede)
Aksi Kamisan sendiri telah dimulai sejak 18 Januari 2007 oleh Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) bersama KontraS dan Jaringan Relawan Kemanusiaan (JRK). Kegiatan ini dilakukan setiap hari Kamis pukul 16.00–17.00 WIB di depan Istana Presiden — simbol kekuasaan yang terus ditantang untuk tidak abai terhadap sejarah kelam bangsa.
Peserta Aksi Kamisan memilih diam dan berdiri bukan karena pasrah, melainkan sebagai simbol keteguhan sikap: bahwa korban dan keluarganya masih memiliki hak untuk bersuara, meski melalui diam. Hitam menjadi warna duka yang telah menjadi cinta terhadap keadilan, sementara payung hitam mencerminkan perlindungan terhadap nilai-nilai HAM yang terancam oleh impunitas.
Dalam pernyataan perjuangannya, peserta Aksi Kamisan menyuarakan kembali berbagai tragedi pelanggaran HAM berat yang hingga kini belum menemukan keadilan. Mulai dari tragedi 1965, Penembakan Misterius 1982–1985, Talangsari 1989, Rumoh Geudong dan Pos Sattis Aceh, Penghilangan Paksa 1997–1998, Tragedi Mei 1998, Trisakti dan Semanggi, hingga pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib tahun 2004, serta kekerasan terhadap demonstran pada Reformasi Dikorupsi 2019.
Tiga tuntutan utama disampaikan dalam aksi ini yakni:
1.Mendesak negara untuk memenuhi kewajibannya mengusut tuntas seluruh kasus pelanggaran HAM berat.
2.Menegakkan supremasi hukum dan menghapus praktik impunitas.
3.Melaksanakan mandat konstitusi UUD 1945, bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan setiap kebijakan negara harus berlandaskan kepentingan rakyat.
![]() |
Poster ajakan Aksi Kamisan yang sebelumnya beredar di Wilayah Kota Palangka Raya, Kalteng. Foto/IST |
Tags
Kota Palangkaraya