Pemilu
Lokal Terpisah dari Nasional. Foto/mkri.id
POSSINDO.COM,
Politik - Mahkamah Konstitusi (MK)
menyatakan pemilu baik pemilihan kepala daerah (pilkada) maupun pemilihan
legislatif (pileg) untuk DPRD di tingkat daerah selanjutnya diselenggarakan
paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun dan enam bulan setelah
pemilu nasional rampung.
Dengan Pemilu nasional yang kini terjadwal digelar 2029, maka pemilu tingkat
daerah baru bisa digelar 2031.
Hal itu merupakan implikasi dari Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang
menyatakan pemisahan waktu pemilu di tingkat nasional dengan daerah.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyebut pemilu selanjutnya yang dijadwalkan
pada 2029 merupakan masa transisi. Khususnya, bagi pasangan kepala daerah yang
terpilih pada 27 November 2024 dan anggota DPRD hasil Pemilu pada 14 Februari
2024 lalu.
MK menyatakan masa peralihan ini memiliki sejumlah implikasi, namun menyerahkan
perumusan masa transisi ini menyerahkannya ke pembentuk undang-undang yakni DPR
dan pemerintah.
Dengan melakukan rekayasa konstitusional (constitutional engineering)
berkenaan dengan masa jabatan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota, termasuk
masa jabatan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil
walikota sesuai dengan prinsip perumusan norma peralihan atau transisional,"
bunyi pertimbangan hukum MK pada halaman 143.
Dalam pertimbangan hukum poin [3.18.2] MK menyatakan penyelenggaraan pemilu
tingkat nasional dilaksanakan terpisah dengan di tingkat lokal untuk pertama
kali ialah pada 2029 mendatang.
"Untuk pemilihan umum anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota dan pemilihan
umum gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota
dilaksanakan sesuai dengan jangka waktu sebagaimana dinyatakan dalam
pertimbangan hukum pada Sub-paragraf [3.18.1]," bunyi pertimbangan hukum
MK.
Mengacu pada pertimbangan hukum [3.18.1] itu, MK memerintahkan pemilu lokal
baru dapat digelar saat tahapan pemilu di tingkat nasional dinyatakan berakhir.
Dalam hal ini, MK menyatakan penghitungan waktu itu dimulai sejak waktu
pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau pelantikan presiden/wakil presiden.
Majelis hakim konstitusi menyatakan pelantikan itu merupakan akhir dari tahapan
pemilihan umum sebelumnya.
Setelahnya, MK pun mengatur bahwa pemungutan suara di tingkat lokal baru dapat
digelar paling cepat dua tahun atau paling lama dua tahun 6 bulan sejak
pelantikan di tingkat nasional (DPR, DPD, dan Presiden).
Menurut MK, agenda pemilu nasional dan lokal pada tahun yang sama menyebabkan
berbagai permasalahan, termasuk di antaranya pelemahan terhadap pelembagaan
partai politik karena kurangnya waktu bagi parpol menyiapkan kader untuk
berlaga dalam setiap jenjang pemilu.
Selain itu, MK juga menilai penyelenggaraan pemilu lokal dan nasional dalam
waktu yang berdekatan menyebabkan pemilih jenuh. Fokus pemilih bahkan terpecah
di tempat pemungutan suara karena banyaknya surat suara yang harus dicoblos.
Sumber : cnnindonesia.com