Kesepakatan Dagang RI-AS Dinilai Lemahkan Kedaulatan Ekonomi Nasional

Glennio Sahat Solu Sihombing, Ketua Dewan Pimpinan Komisariat (DPK) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya. Foto/Gd

POSSINDO.COM, PALANGKA RAYA — Kesepakatan dagang terbaru antara Indonesia dan Amerika Serikat menuai kritik tajam dari kalangan aktivis mahasiswa. Meski dinilai menguntungkan dari sisi tarif, penurunan bea ekspor dari 32% menjadi 19% disebut menyimpan risiko besar terhadap kedaulatan ekonomi nasional.

Glennio Sahat Solu Sihombing, Ketua Dewan Pimpinan Komisariat (DPK) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya, menilai kesepakatan tersebut mengandung konsekuensi berat. Ia menyoroti adanya kewajiban membeli 50 pesawat Boeing, impor besar-besaran energi dan pangan dari Amerika Serikat, serta dibukanya pasar domestik Indonesia secara luas tanpa proteksi memadai.

“Negara kita menukar sebagian kedaulatannya dengan janji pasar yang semu,” ujarnya dalam pernyataan tertulis, Minggu (20/7/2025). Ia menambahkan, “Apa arti 13 persen jika di baliknya terselip kewajiban membeli 50 pesawat Boeing, miliaran dolar energi dan pangan dari Amerika Serikat, dan pembukaan pasar kita secara telanjang tanpa pelindung?”

Menurut Glennio, kesepakatan hasil komunikasi antara Presiden Prabowo Subianto dan Donald Trump ini merupakan bentuk modern dari imperialisme ekonomi. Dalam pandangan Marxis, ujarnya, negara berkembang ditekan untuk menyerap surplus produksi negara-negara maju.

“Ini bukan diplomasi dagang, melainkan ekspresi mutakhir dari imperialisme ekonomi. Kapital menyusup lewat kerja sama dagang, menekan lewat tarif, dan menuntut negara pinggiran tunduk lewat ‘kesepakatan mutual’ yang sepihak,” jelasnya.

Kritik Pembelian Pangan Jumlah  Besar dari AS

Ia juga mempertanyakan urgensi pembelian pangan dari AS dalam jumlah besar, sementara petani lokal justru tidak memiliki daya saing karena kurangnya subsidi dan perlindungan.

“Apakah rakyat kita butuh gandum AS sebanyak itu? Apakah petani kita sanggup bersaing jika produk mereka tak lagi disubsidi, tapi justru disingkirkan oleh kedelai dan jagung dari korporasi Midwest?” tegasnya.

Menurut Glennio, kesepakatan ini tidak hanya berdampak pada perdagangan, melainkan mencerminkan arah ideologis negara yang semakin menjauh dari kepentingan rakyat.

“Saat kita mencabut persyaratan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), menghapus hambatan tarif dan non-tarif, dan menyerahkan pasar domestik, kita tengah membangun altar penyembahan pada kapital global—dengan rakyat sebagai kurbannya,” ungkapnya.

Ia menyebut, keputusan penting yang menyangkut jutaan pekerja dan petani itu disepakati hanya dalam waktu 17 menit lewat sambungan telepon dua kepala negara. “Maka, pertanyaannya bukan lagi: ‘Mengapa kita setuju?’ Tapi: ‘Untuk siapa kita setuju?’” ucapnya.

Sebagai jalan keluar, Glennio menyerukan pembangunan kembali arah ekonomi yang berpihak kepada rakyat. Di antaranya melalui solidaritas dagang antar-negara berkembang, penguatan industri nasional berbasis kerakyatan, dan kebijakan protektif terhadap ekonomi domestik yang berfungsi sebagai pelindung kehidupan rakyat. (Gd)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال