![]() |
Solidaritas Aksi Kamisan Kalimantan Tengah sekaligus Kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Palangka Raya. Foto/Gede |
POSSINDO.COM, PALANGKA RAYA - Salah satu aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Solidaritas Aksi Kamisan Kalimantan Tengah sekaligus Kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Palangka Raya, Gratsia Christopher atau yang akrab disapa sebagai Bung Gret, menyatakan sikap tegasnya terkait Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) 2025 yang dinilai membahayakan hak-hak sipil.
Ia menilai Draft RKUHAP yang tengah dibahas di DPR RI ini berpotensi membahayakan hak-hak sipil dan berisiko tinggi melanggar HAM karena hilangnya jaminan keadilan substantif serta memperkecil ruang pembelaan bagi terdakwa dan korban dalam proses pidana.
"Draft RKUHAP ini menyimpan sejumlah pasal bermasalah yang berpotensi menimbulkan kemunduran perlindungan HAM, memperlemah akuntabilitas penegakan hukum, dan membatasi akses keadilan terhadap masyarakat. Beberapa aspek substansial dalam berbagai pasal menunjukkan ketidakjelasan standar hukum dan belum menjawab persoalan mendasar dalam sistem peradilan pidana saat ini," tegasnya.
Beberapa pasal lainnya juga dinilai memperluas kewenangan penyidik dan kepolisian tanpa pengawasan yang seimbang, misalnya terkait pencekalan ke luar negeri, penyadapan harus izin pengadilan, hingga pembatasan waktu penangkapan yang dianggap tidak jelas.
Adapun beberapa pasal yang ia soroti, yakni:
Pasal 23 yang tidak menjamin akuntabilitas dalam pelaporan tindak pidana, serta proses pengaduan yang tidak ditindaklanjuti hanya dapat dilaporkan ke atasan penyidik, tanpa mekanisme pengawasan independen.
Pasal 149, 152 ayat (2), 153, dan 154 yang menunjukkan lemahnya pengawasan yudisial terhadap tindakan upaya paksa. Forum komplain atas pelanggaran prosedur penegakan hukum dinilai sangat terbatas, masih mengandalkan mekanisme praperadilan yang dinilai usang dan tidak efektif.
Pasal 16 yang memuat aturan terkait penyamaran dan pembelian terselubung dalam penyelidikan dibuka tanpa batasan ketat.
Pasal 7 ayat (5), Pasal 87 ayat (4), Pasal 92 ayat (4) yang menyatakan seluruh matra TNI dapat berperan sebagai penyidik tindak pidana. Hal ini membuka celah dwifungsi TNI dan memperlebar ranah TNI di luar otoritas militer.
Pasal 93 yang berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan Aparat. Beberapa syarat penahanan tidak memiliki standar objektif dan ukuran yang jelas, sehingga aparat penegak hukum bisa melakukan penahanan atas dasar interpretasi yang bebas.
Pasal 124 yang dinilai membuka celah penyalahgunaan wewenang, lemahnya perlindungan hak asasi manusia (khususnya hak privasi), serta tidak detailnya aspek akuntabilitas dan pengawasan ketika terjadi penyadapan dalam keadaan mendesak.
Ia menyimpulkan draft RKUHAP 2025 mengandung regresi serius dalam perlindungan hak asasi manusia dan keadilan prosedural.
"Mekanisme pengawasan, perlindungan korban, dan akuntabilitas penegak hukum perlu penguatan substansial sebelum disahkan untuk memastikan sistem peradilan pidana berjalan lebih adil dan akuntabel," simpulnya.
Ia turut mendorong adanya peran hakim komisaris, penguatan koordinasi jaksa-penyidik, dan perlindungan HAM serta jaminan hak korban sebagai prasyarat sebelum pengesahan. (Gd)
Tags
Kota Palangkaraya