Pemuda Kalimantan Tengah Dinilai Pasif Hadapi Isu Nasional, GMNI Soroti Minimnya Kesadaran Politik

Wakil Kepala Bidang Hukum DPK FH GMNI Palangka Raya, Rifael Sianturi. Foto/Gd

POSSINDO.COM, PALANGKA RAYA – Wakil Kepala Bidang Hukum DPK FH GMNI Palangka Raya, Rifael Sianturi, menyoroti minimnya peran dan kesadaran politik generasi muda di Kalimantan Tengah dalam menghadapi berbagai isu lokal dan nasional. Dalam pernyataannya, ia menyebut Kalimantan Tengah hanya menjadi penonton di tengah riuhnya dinamika politik nasional, seperti isu Ibu Kota Negara (IKN), UU TNI, RUU Polri, RKUHAP, hingga persoalan pendidikan dan ekonomi.

"Provinsi ini menyimpan potensi besar, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Namun sayangnya, pemudanya terlihat pasif dan membisu," ujarnya.

Rifael menilai bahwa elit politik daerah justru lebih sibuk dengan konsolidasi pribadi, bukan mendorong perubahan struktural. Padahal, menurutnya, Kalimantan Tengah memiliki kekuatan untuk turut mewarnai arah kebijakan nasional jika ada keberanian dan kemauan politik.

Ia juga mengutip data dari Katadata Insight Center yang menunjukkan hanya sekitar 1 persen pemuda Kalteng yang benar-benar aktif dan sadar akan peran politiknya. Angka tersebut jauh di bawah rata-rata nasional yang mencapai 59,8 persen.

Rendahnya minat ini, menurutnya, berdampak langsung pada minimnya partisipasi dalam pemilu, sikap apatis terhadap isu strategis, serta tidak adanya gerakan kolektif yang menekan perubahan kebijakan yang merugikan masyarakat lokal. Termasuk di antaranya isu eksploitasi lahan gambut, perampasan ruang hidup masyarakat adat, dan ketimpangan pembangunan.

"Suara protes nyaris tak terdengar. Tidak ada tekanan sosial, tidak ada strategi politik," tegas Rifael.

Ia mempertanyakan apakah situasi ini akibat kegagalan pendidikan politik atau sistem yang tidak memberi ruang kepada anak muda untuk tampil sebagai aktor perubahan. Program-program dari pemerintah seperti seminar dan pelatihan yang dilakukan Kesbangpol dinilainya hanya menyentuh permukaan dan tidak menyasar akar persoalan.

"Masalahnya bukan hanya pada pengetahuan politik, tetapi pada kultur diam yang diwariskan dan dibiasakan," tambahnya.

Rifael juga menyoroti ketimpangan akses informasi dan rendahnya literasi kritis di wilayah pedesaan, yang membuat generasi muda lebih akrab dengan konten media sosial tidak bermutu ketimbang diskusi publik bermakna. Politik pun dianggap sebagai hal yang menjijikkan, bukan sebagai ruang perjuangan.

Ia menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa Kalimantan Tengah berada di persimpangan sejarah: antara terus menjadi penonton dalam panggung nasional, atau bangkit menjadi kekuatan politik dan intelektual yang bersuara lantang.

"Gerakan akar rumput harus lahir liar dalam ide, logis dalam tujuan," pungkasnya. (Gd)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال