RKUHAP Dinilai Legitimasi Kriminalisasi Sipil, Aktivis Palangka Raya Serukan Penolakan

Gratsia Christopher dari Solidaritas Aksi Kamisan Kalteng dan Glennio Sahat Solu Sihombing selaku Ketua DPK GMNI Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya. Foto/Gd

POSSINDO.COM, PALANGKA RAYA – Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) 2025 menuai kritik keras dari kalangan aktivis mahasiswa di Kota Palangka Raya. Dalam sebuah diskusi publik yang digelar baru-baru ini, dua tokoh muda, Gratsia Christopher dari Solidaritas Aksi Kamisan Kalteng dan Glennio Sahat Solu Sihombing selaku Ketua DPK GMNI Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya, menyampaikan kekhawatiran mendalam atas sejumlah pasal bermasalah yang dinilai mengancam hak-hak sipil.

Gratsia menegaskan bahwa RKUHAP yang tengah dibahas DPR RI berpotensi melegitimasi praktik kriminalisasi terhadap masyarakat sipil. Ia berharap diskusi publik dapat membangkitkan kesadaran peserta untuk menyadari ancaman sistemik dari regulasi tersebut, serta mendorong mereka menyebarluaskan informasi kepada masyarakat luas.

“Saya harap dengan adanya Diskusi Publik terkait Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) 2025 ini mampu membangun kesadaran peserta yang hadir dalam diskusi bahwa, jika RKUHAP ini sampai disahkan, sama saja artinya dengan melegitimasi upaya kriminalisasi hak-hak masyarakat sipil,” ujarnya.

Menurut Gratsia, RKUHAP memuat banyak pasal yang bisa memperkuat kekuasaan aparat, mempersempit kebebasan sipil, serta menggerus kesejahteraan masyarakat. Ia menyerukan agar proses legislasi dilakukan secara lebih terbuka dan partisipatif, serta menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia (HAM).

“RKUHAP seharusnya menjadi instrumen untuk meningkatkan keadilan dan perlindungan HAM, bukan justru sebaliknya,” tambahnya.

Senada dengan itu, Glennio menyebut RKUHAP sebagai ancaman sistemik terhadap hak-hak konstitusional rakyat. Ia menilai rancangan tersebut telah bergeser dari semangat reformasi menuju arah yang otoriter.

“Rancangan KUHAP seharusnya menjadi tonggak pembaruan hukum acara pidana yang menjunjung hak asasi, tapi kenyataannya justru menjadi ancaman sistemik terhadap hak-hak warga negara,” ujarnya.

Glennio menyoroti sejumlah pasal yang membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan, seperti penyadapan tanpa pengawasan independen, perpanjangan masa penahanan tanpa pengawasan yudisial yang memadai, hingga pembatasan akses terhadap bantuan hukum sejak awal proses hukum.

“Ini bukan sekadar cacat redaksional—ini adalah pergeseran paradigma hukum ke arah yang otoriter. Kita tengah menyaksikan bagaimana hukum berubah dari pelindung menjadi pengintai,” tegasnya.

Ia menambahkan bahwa beban terberat dari kebijakan ini justru akan ditanggung oleh rakyat kecil, sementara para elit memiliki perlindungan kekuasaan.

“Jika RKUHAP ini disahkan tanpa pembenahan menyeluruh, maka ia bukan warisan reformasi, melainkan tulah legal yang kita wariskan pada generasi mendatang,” pungkasnya.

Keduanya mengajak masyarakat untuk bersuara dan tidak diam melihat potensi pelanggaran HAM yang dilegalkan melalui produk hukum ini. Mereka menegaskan bahwa penolakan terhadap RKUHAP adalah bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan. (Gd)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال