
Sebuah kelas di Sekolah Rakyat zaman Hindia Belanda. Foto/Tirto.id/Istimewa
POSSINDO.COM, Ragam -
Baterai, bioskop, debat, bandit, rekening, knalpot, gratis, jas, kabinet,
kanker, sigaret, hingga wortel. Kata-kata ini berseliweran dalam percakapan
berbahasa Indonesia sehari-hari. Mereka semua berasal dari bahasa Belanda,
warisan dari tiga abad kolonialisme.
Meski jejak kosakatanya masih ada, obrolan sepenuhnya
berbahasa Belanda nyaris tak terdengar di era modern. Itulah paradoks yang
membedakan Hindia Belanda dari imperium kolonial lain.
Di India, Filipina, atau Indocina, bahasa penjajah bertahan
sebagai bahasa elit dan administrasi. Di Indonesia, bahasa Belanda menguap,
hanya menyisakan serpihan.
Hal itu karena pemerintah kolonial Belanda memang tak
berniat menyebarkan bahasanya. Mereka memilih segregasi bahasa sebagai strategi
kekuasaan. Bahasa Belanda dijadikan tembok pemisah, bukan jembatan.
Alih-alih memperkuat dominasi, ia secara tak langsung
memberi ruang bagi bahasa Melayu untuk tumbuh sebagai pengikat antar-etnis.
Awalnya bahasa dagang, Melayu pelan-pelan menjelma jadi alat perjuangan.
Kegagalan Politik
Bahasa Kolonial
Dominasi Belanda di Hindia tidak pernah disertai ambisi
menyebarkan bahasanya. Berbeda dari imperium lain yang menjadikan bahasa
sebagai alat asimilasi, Belanda justru memakainya untuk memisahkan.
Sejak era VOC, kolonialisme Belanda berpusat pada
eksploitasi ekonomi, bukan integrasi budaya. Menyebarkan bahasa Belanda
dianggap tidak efisien. Menurut Joss Wibisono, alasannya adalah lebih murah
mewajibkan pegawai VOC belajar bahasa Melayu ketimbang mengajarkan bahasa
Belanda kepada jutaan penduduk pribumi.
Strategi tersebut berlanjut ketika VOC bangkrut pada akhir
abad ke-18, lalu kekuasaan di tanah Hindia diambil alih oleh Kerajaan Belanda,
tentu saja dengan melanjutkan politik bahasa yang sama. Berbeda dari koloni
lain yang memiliki bahasa pengantar, Belanda tidak merasa perlu memperkenalkan
bahasanya.
Bahasa Belanda hanya tersedia bagi segelintir elit: pejabat
Eropa, pengusaha, dan priyayi yang diizinkan masuk lingkaran kekuasaan. Bagi
mereka, bahasa itu adalah tiket menuju modernitas versi kolonial.
Dengan membatasi akses, Belanda mencegah masuknya
gagasan-gagasan Barat, seperti kesetaraan dan hak asasi manusia. Ini bagian
dari pola pikir kolonial yang memandang pribumi sebagai entitas lebih rendah,
yang harus "dijaga" agar tetap di bawah.
Pendidikan pun dirancang untuk memperkuat pemisahan ini.
Sekolah desa hanya mengajarkan baca-tulis dasar berbahasa lokal atau bahasa
Melayu rendah (Melayu pasar), yang penting cukup untuk mencetak tenaga kerja
murah.
Adapun sekolah elite, seperti Europese Lagere School (ELS)
dan Hollands-Inlandsche School (HIS), memakai bahasa Belanda dan bahasa Melayu
tinggi. Dua bahasa itulah yang menjadi satu-satunya jalan menuju pendidikan
tinggi dan posisi birokrasi. Tapi, aksesnya sangat terbatas. Hingga tahun 1850,
dari 3.500 murid yang bersekolah di ELS, hanya 50 murid yang berasal dari
kalangan elite pribumi.
Menariknya, ada beberapa sekolah pribumi yang memiliki guru
Belanda dan menggunakan bahasa Belanda dalam pengantarnya, misalnya Sekolah
Kartini di berbagai daerah.
“Sekolah Kartini dapat menghancurkan tembok pemisah yang
mereka [Dutch] pasang antara pengajar Belanda dengan anak-anak inlandsche.
Sekolah Kartini adalah bertujuan untuk mengajarkan putri Indonesia mencapai apa
yang mereka perlukan,” demikian tertulis dalam laporan beberapa staf pengajar
di Sekolah Kartini Buitenzorg.
Menurut H.M.J Maier (1993), berdasarkan sensus pada 1930,
hanya 0,3 persen pribumi yang bisa menulis dalam bahasa Belanda. Itu pun hanya
surat pendek sederhana.
Sementara para elite berdiskusi dalam bahasa penjajah, rakyat
tetap memakai bahasa lokal dan Melayu pasar. Bahasa terakhir disebut, yang
awalnya hanya alat komunikasi praktis, pelan-pelan menjadi benang pengikat
antar-etnis. Kebijakan kolonial yang membatasi penggunaan bahasa Melayu justru
membuatnya makin tajam sebagai senjata utama gerakan nasionalis.
Dalam “Politik Bahasa pada Masa Hindia Belanda” (1999), Kees
Groeneboer menilai, faktor pasif lainnya yang menyebabkan bahasa Belanda tidak
berkembang ialah kemampuan daya pikir pribumi yang terbatas saat itu.
Groeneboer mencontohkan fenomena di Pulau Nias yang sempat
mewacanakan pemberlakuan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar dan pergaulan,
terutama untuk membantu penyebaran agama Kristen. Namun, itu akhirnya ditolak
karena masyarakat ragu akan hasilnya.
“Pada akhir 1858 diputuskan untuk memberikan pendidikan di
Nias dengan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar, tidak dengan bahasa
Belanda,” sambung Groeneboer.
Warsa 1865, pendidikan dasar di sekolah-sekolah pribumi
sudah menggunakan bahasa daerah sebagai pengantarnya, yakni Melayu, Jawa,
Sunda, Madura, dan Batak-Mandailing. Ia kemudian disusul oleh bahasa daerah
lainnya antara tahun 1877-1900, seperti Bawean, Bugis, Dayak, Gorontalo,
Makasar, Nias, Sangir, dan Tumbulu.
Keputusan menggunakan bahasa daerah ataupun Melayu diperkuat
oleh Dekrit Kerajaan Belanda pada 30 Mei 1868 No.37. Kebijakan itu mengatur
mengenai pendidikan bagi pribumi di Hindia Belanda.
“Akan tetapi, ketentuan dalam keputusan tahun 1868, yang
menyatakan bahwa apabila bahasa daerah tidak dapat digunakan untuk pendidikan,
bahasa lain yang dipahami oleh penduduk di wilayah tempat sekolah itu berada
dapat digunakan, telah digantikan oleh ketentuan yang lebih fasih, yang
menetapkan bahwa dalam kasus tersebut pengajaran harus diberikan dalam bahasa
Melayu,” tulis Laporan Kolonial (Koloniaal Verslag) tahun 1871.
Ketakutan kolonial terhadap pendidikan setara tecermin dalam
pernyataan para pejabat. Meski ada beberapa suara optimistis, misalnya Gubernur
Jenderal A.W.F. Idenburg yang mendukung perluasan pendidikan, mayoritas pejabat
menolak. Begitu juga orang tua Eropa yang khawatir anaknya sekelas dengan
pribumi. Ketakutan itu bukan soal pendidikan, tapi soal kontrol. Belanda tahu,
memberi akses bahasa berarti memberi alat melawan.
Pada akhirnya, strategi eksklusifnya memang berhasil menjaga
hierarki, tapi gagal mencegah perlawanan. Dengan menolak menjadikan bahasa
Belanda sebagai pemersatu, dan membiarkan bahasa Melayu tetap hidup, mereka
justru memperkuat medium yang akan menyatukan suara-suara perlawanan.
Kebangkitan Bahasa
Melayu sebagai Senjata Politik
Memasuki abad ke-20, arah politik Hindia Belanda mulai
berubah. Sebuah lembaga penerbitan didirikan pada 1917. Namanya Kantoor voor de
Volkslectuur, yang di kemudian hari dikenal sebagai Balai Pustaka. Tujuannya
ialah mengontrol penyebaran informasi dan tulisan. Bersamaan dengan itu, suara
perlawanan yang sebelumnya sunyi dan pasif mulai lantang.
Kaum nasionalis, yang lahir dari rahim Politik Etis, melihat
bahasa Melayu bukan lagi sekadar alat komunikasi, melainkan senjata untuk
membentuk identitas dan menyebarkan gagasan. Bahasa tersebut menjadi medium
perlawanan, dari ruang sidang Volksraad (Dewan Rakyat) hingga halaman surat
kabar.
Volksraad, yang berdiri pada 18 Mei 1918 di Batavia,
menetapkan bahasa Belanda sebagai bahasa resmi. Namun, hal itu membuat banyak
anggota pribumi kesulitan menyampaikan pikiran mereka. Salah satu anggota
Volksraad, Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat, mengusulkan agar bahasa Melayu
diizinkan.
“Memang, belajar bahasa Belanda tidak mudah bagi kami
penduduk asli, yang pertama kali memiliki kesempatan untuk melakukannya pada
usia yang relatif terlambat,” ujarnya, sebagaimana dikutip dari Historiek.
Pihak Belanda menolak usulan itu, salah satunya disampaikan
oleh Pieter Bergmeijer. Tapi, resistansi itu menunjukkan ketakutan yang lebih
dalam bahwa bahasa Melayu bisa menjadi saluran aspirasi politik dan semangat
kemerdekaan. Benar saja, lambat laun penggunaan bahasa Melayu di Volksraad
berubah menjadi bentuk pembangkangan.
Pada Agustus 1939, M. H. Thamrin, Soetardjo, dan Soekawati,
mengajukan mosi di Volksraad yang mengusulkan penggunaan istilah Indonesia,
Indonesier, dan Indonesisch sebagai pengganti Nederlandsch-Indië, Inlander, dan
Inlandsch. Usulan itu baru direspons setahun kemudian, Agustus 1940, dan
ujungnya sama: ditolak.
Di luar Volksraad, perang suara berkecamuk di surat kabar
berbahasa Melayu. Menurut Hilman Farid dalam Perang Suara: Bahasa dan Politik
Pergerakan (2024), surat kabar menjadi medan pertempuran utama bagi
gagasan-gagasan berbahasa Melayu.
Kapitalisme cetak, lanjut Hilman, membuka ruang publik baru,
tempat gagasan-gagasan nasionalis menyebar lewat tulisan oleh bumiputra. Di
sinilah kosakata politik baru dibentuk. Kata bangsa tak lagi merujuk pada etnis,
tapi pada nasion yang melampaui batas suku; kemajuan tak lagi milik penjajah,
tapi hak yang harus diperjuangkan; dan merdeka berubah dari kebebasan pribadi
menjadi cita-cita kolektif, yakni kemerdekaan nasional.
Surat kabar perlawanan, seperti Medan Prijaji dan De Expres,
menjadi corong suara rakyat. Mereka menyampaikan berita, keluhan, kritik, dan
harapan. Sejak itu, pembaca mulai melihat dirinya sebagai bagian dari satu
kesatuan: bukan lagi Jawa, Sunda, atau Melayu.
Sebelum merdeka secara politik, para bapak bangsa menganggap
bahwa rakyat terlebih dahulu harus mampu membayangkan dirinya sebagai bangsa.
Dan, bahasa Melayu adalah alat untuk membentuk bayangan itu, bukan bahasa
Belanda bahasa kolonial.
Transisi Linguistik
Puncak
pembentukan identitas kolektif Indonesia terjadi pada Kongres Pemuda II di
Batavia, 27-28 Oktober 1928. Di sana, organisasi-organisasi pemuda, yang
sebelumnya terikat pada identitas kedaerahan, bersatu dalam satu visi
kebangsaan. Di akhir kongres, lahirlah Sumpah Pemuda.
Butir ikrar
ketiga mengenai penggunaan bahasa Indonesia lahir dari diskusi panjang,
terutama berkat usulan Mohammad Tabrani yang "melahirkan" bahasa
Indonesia, alih-alih bahasa Melayu.
“Bangsa dan
pembatja kita sekalian! Bangsa Indonesia beloem ada. Terbitkanlah bangsa
Indonesia itoe. Bahasa Indonesia belum ada. Terbitkanlah bahasa Indonesia
itoe,” tulis Tabrani dalam sebuah esai.
Tabrani
secara politis ingin memutus bahasa dari akar etnis dan menjadikannya milik
bersama. Itulah proklamasi linguistik yang mendahului kemerdekaan politik.
Pemerintah
kolonial menyadari ancaman ini. Seturut Anton M. Moeliono dalam buku The
Earliest Stage of Language Planning: “The First Congress” Phenomenon
(1993:130), Belanda melarang pelajaran bahasa Melayu di sekolah-sekolah di Jawa
pada 1930 dan seluruh wilayah Nusantara pada 1932. Namun, tekanan itu justru
memperkuat posisi bahasa Indonesia sebagai simbol perlawanan dan pemersatu.
Momen yang
paling mempercepat transformasi ini justru datang dari pendudukan Jepang antara
1942–1945. Merujuk Sutan Takdir Alisjahbana dalam Indonesian Language and
Literature: Two Essays (1962), Jepang melarang total penggunaan bahasa Belanda
di ruang publik untuk tujuan apa pun.
Meski
berniat menggantinya dengan bahasa Jepang, rencana itu tak realistis. Maka
kekosongan itu diisi oleh satu-satunya bahasa yang sudah menjangkau seluruh
wilayah: bahasa Indonesia.
Sejak itu,
untuk pertama kalinya, bahasa Indonesia digunakan secara resmi di semua ranah,
mulai surat kabar, radio, dokumen pemerintahan, hingga pendidikan dari tingkat dasar
sampai perguruan tinggi. Komisi-komisi bahasa dibentuk untuk menerjemahkan
istilah teknis dan administratif. Dalam waktu singkat, kosakata berkembang
pesat dan masyarakat mengalami imersi total.
Saat
Sukarno dan Hatta membacakan teks proklamasi pada 17 Agustus 1945, mereka
memilih bahasa Indonesia—bukan bahasa Jawa, bukan bahasa Belanda. Pilihan ini
tak lagi diperdebatkan. Pasal 36 UUD 1945 mengukuhkannya: “Bahasa Negara ialah
Bahasa Indonesia”.
Sumber : Tirto.id