Deflasi di Indonesia Fenomena Langka Setelah 25 Tahun


Ilustrasi deflasi | Foto : joss.co.id/berbagai sumber

POSSINDO.COM, Ekonomi -
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia mengalami deflasi untuk pertama kalinya dalam 25 tahun pada Indeks Harga Konsumen (IHK) Februari 2025. Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, mengungkapkan bahwa IHK turun sebesar 0,09% secara tahunan (YoY), dari 105,58 pada Februari 2024 menjadi 105,48 pada Februari 2025. Deflasi ini menjadi yang pertama sejak Maret 2000.

Amalia menjelaskan bahwa pada tahun 2000, deflasi tercatat sebesar 1,01% YoY akibat penurunan harga bahan makanan. Namun, deflasi pada Februari 2025 dipicu oleh sektor yang berbeda. Kali ini, sektor Perumahan, Air, Listrik, dan Bahan Bakar Rumah Tangga menjadi faktor utama, dengan deflasi sebesar 3,59% dan memberikan andil deflasi sebesar 0,52%.

"Komoditas yang dominan mendorong deflasi sektor ini adalah diskon tarif listrik, yang memberikan andil deflasi sebesar 0,67%," ujar Amalia.

Selain itu, harga beberapa pangan bergejolak juga mengalami penurunan, seperti daging ayam ras yang menyumbang andil deflasi sebesar 0,06%. Komoditas lain seperti bawang merah dan cabai merah turut mengalami penurunan harga, masing-masing memberikan andil deflasi sebesar 0,05% dan 0,04%.

Namun, beberapa komoditas tetap mencatatkan inflasi. Kenaikan tarif air minum PAM berkontribusi pada inflasi sebesar 0,13%, sementara emas perhiasan dan penyesuaian harga bensin menyumbang inflasi sebesar 0,08% dan 0,03%.

BPS juga mencatat deflasi sebesar 0,48% secara bulanan (mtm), yang terutama didorong oleh deflasi pada komponen harga yang diatur pemerintah. Meskipun demikian, komponen inti masih mencatat inflasi sebesar 0,25%, dengan andil inflasi sebesar 0,16%. Emas perhiasan, kopi bubuk, dan mobil menjadi komoditas utama yang mendorong inflasi komponen inti.

Komponen harga yang diatur pemerintah mengalami deflasi sebesar 2,65% dengan andil deflasi sebesar 0,48%, di mana tarif listrik menjadi penyumbang utama. Sementara itu, komponen harga bergejolak mencatat deflasi sebesar 0,93%, dengan andil deflasi sebesar 0,16%. Daging ayam ras, bawang merah, cabai merah, cabai rawit, dan telur ayam ras menjadi komoditas utama yang mendorong deflasi pada kategori ini.

Secara geografis, sebanyak 33 provinsi mengalami deflasi, sementara lima provinsi lainnya mengalami inflasi. Deflasi terdalam terjadi di Papua Barat sebesar 1,41% secara month-to-month (mtm), sedangkan inflasi tertinggi tercatat di Papua Pegunungan sebesar 2,78%.

Provinsi dengan inflasi tertinggi selanjutnya adalah Nusa Tenggara Timur (0,37%), Sulawesi Tenggara (0,36%), Gorontalo (0,10%), dan Sulawesi Tengah (0,06%). Sementara itu, deflasi terbesar setelah Papua Barat terjadi di Papua Barat Daya (-0,95%), Sulawesi Selatan (-0,89%), DI Yogyakarta (-0,86%), Jawa Tengah (-0,78%), dan Banten (-0,66%).

Deflasi juga terjadi di Maluku (-0,63%), Sumatera Utara (-0,63%), Jawa Barat (-0,61%), Nusa Tenggara Barat (-0,60%), Jambi (-0,60%), Jawa Timur (-0,59%), Bali (-0,57%), Bengkulu (-0,57%), Sulawesi Utara (-0,53%), Papua (-0,52%), dan Riau (-0,50%).

Provinsi lain yang turut mengalami deflasi adalah Sulawesi Barat (-0,48%), Aceh (-0,48%), Kalimantan Tengah (-0,46%), Sumatera Selatan (-0,41%), Kalimantan Selatan (-0,39%), DKI Jakarta (-0,29%), Kalimantan Timur (-0,25%), Kalimantan Utara (-0,17%), Sumatera Barat (-0,16%), Kepulauan Riau (-0,14%), Maluku Utara (-0,11%), Papua Tengah (-0,10%), Papua Selatan (-0,06%), Kalimantan Barat (-0,04%), dan Kepulauan Bangka Belitung (-0,03%).

Deflasi ini menjadi catatan penting dalam sejarah ekonomi Indonesia, mengingat terakhir kali terjadi pada 2000. Para ekonom akan terus mengamati tren ini untuk memahami dampaknya terhadap daya beli masyarakat dan pertumbuhan ekonomi ke depan.

Sumber : liputan6.com

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال