Presiden
Prabowo Subianto(YouTube / Kompas.com)
POSSINDO.COM, Ekonomi – Presiden Republik Indonesia Prabowo
Subianto tengah berupaya merayu Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump agar
mengubah kebijakan tarif impor sebesar 32 persen yang dikenakan terhadap
barang-barang asal Indonesia. Sebagai langkah strategis, Prabowo telah
memerintahkan jajarannya untuk menawarkan sejumlah pelonggaran sebagai bentuk
negosiasi.
Kebijakan tarif dari pemerintahan Trump tersebut menargetkan
hampir seluruh negara mitra dagang AS, dan bahkan memicu eskalasi perang dagang
global. Sejak 5 April 2025, Trump menerapkan tarif impor sebesar 10 persen
untuk seluruh barang dari semua negara. Selain itu, ia memberlakukan tarif
tambahan berupa tarif timbal balik (resiprokal) yang bervariasi antara 10
hingga 145 persen bagi puluhan negara, termasuk Indonesia yang dikenai tarif 32
persen.
Meski demikian, Trump kemudian menunda penerapan kebijakan
ini selama 90 hari untuk sejumlah negara, kecuali China. Dalam unggahan di
platform Truth Social pada Rabu (9/4), Trump menyatakan bahwa pintu negosiasi
tetap terbuka bagi negara-negara yang ingin mencari solusi.
“Berdasarkan fakta bahwa lebih dari 75 negara telah
memanggil perwakilan AS, termasuk dari Departemen Perdagangan, Keuangan, dan
USTR, untuk merundingkan isu perdagangan, hambatan, tarif, manipulasi mata
uang, dan kebijakan non-moneter, serta bahwa atas saran saya, negara-negara ini
tidak membalas dengan bentuk apapun terhadap AS,” tulis Trump.
Indonesia menjadi salah satu negara yang aktif melakukan
lobi ke AS. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menyiapkan tiga paket
kebijakan untuk ditawarkan. Pertama, pelonggaran aturan Tingkat Komponen Dalam
Negeri (TKDN) untuk produk teknologi AS seperti GE, Apple, Oracle, dan
Microsoft. Selain itu, evaluasi terhadap pelarangan dan pembatasan, serta
percepatan proses sertifikasi halal bagi produk-produk AS.
Paket kebijakan kedua mencakup peningkatan impor dari AS,
termasuk pembelian minyak dan gas. Pemerintah juga menyiapkan insentif fiskal
dan nonfiskal seperti penurunan bea masuk, Pajak Penghasilan (PPh) impor, dan
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) impor untuk produk-produk tertentu dari AS.
Penerapan tarif sebesar 32 persen terhadap barang dari
Indonesia diperkirakan akan mengganggu perekonomian nasional, mengingat AS
merupakan salah satu mitra dagang terbesar Indonesia. Data menunjukkan bahwa
sekitar 26,36 persen ekspor Indonesia ditujukan ke AS, menempatkannya sebagai
negara tujuan ekspor kedua setelah China yang menyerap 62,44 persen ekspor
Indonesia.
Di sisi lain, volume impor barang dari AS relatif kecil,
hanya sekitar 12 persen dari total impor nasional. Sebaliknya, 72,73 persen
barang impor Indonesia berasal dari China.
Pengamat ekonomi Andri menyarankan agar pemerintah mendorong
komitmen konkret dalam perbaikan neraca dagang, salah satunya dengan
meningkatkan impor strategis dari AS.
“Negosiasi pemerintah itu perlu. Komitmen nyata untuk
memperbaiki neraca dagang adalah dengan meningkatkan nilai impor strategis,”
kata Andri kepada CNNIndonesia.com, Jumat (11/4).
Menurut Andri, pemerintah bisa mempertimbangkan penambahan
impor komoditas yang selama ini didominasi oleh AS, seperti kedelai dan LPG.
Saat ini, 89,1 persen kedelai impor Indonesia berasal dari AS, begitu pula
dengan 50 persen kebutuhan LPG.
“Kedelai adalah salah satu komoditas andalan AS, menyumbang
surplus hingga US$24,1 miliar tahun lalu. Menurut saya, bangun segera posisi
Indonesia sebagai mitra dagang strategis. Jangan sampai Indonesia hanya
dipandang sebagai negara yang sekadar menjual barang ke Amerika Serikat.
Sumber : cnnindonesia.com