Kelapa
bulat yang dijual di Pasar Nalo, Jakarta, Kamis (24/4/2025). —Bisnis/Rika
Anggraeni
POSSINDO.COM, Ekonomi – Pemerintah
tengah mengkaji penerapan skema tarif ekspor kelapa sebagai sumber pembiayaan
untuk mendukung program peremajaan pohon kelapa milik petani di berbagai
daerah. Kebijakan ini dimaksudkan untuk meniru skema pungutan ekspor minyak
sawit yang selama ini digunakan untuk membantu petani sawit rakyat.
Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) Sudaryono mengatakan,
penerapan tarif ekspor diharapkan dapat mengalirkan sebagian pendapatan dari
kegiatan ekspor kelapa untuk mendanai peremajaan pohon kelapa yang sudah tua
dan tidak produktif.
"Ini sedang kita kaji supaya ada semacam tarif ekspor
seperti sawit. Dana itu nantinya bisa kita gunakan untuk membantu rakyat dalam
meremajakan pohon-pohon kelapa kita," ujar Sudaryono saat kunjungan kerja
di Balai Perakitan dan Pengujian Tanaman Industri dan Penyegar, Sukabumi, Jawa
Barat, Jumat (9/5).
Menurut Sudaryono, kebijakan tersebut merupakan bentuk
keberpihakan pemerintah kepada petani kelapa yang selama ini terbebani
tingginya biaya peremajaan, sekaligus menghadapi keterbatasan akses terhadap
pembiayaan murah.
"Kelapa kini tengah diminati, baik untuk kebutuhan
ekspor maupun dalam negeri," ujarnya.
Ia menekankan, kelapa memiliki nilai strategis dalam
perekonomian nasional, sehingga keberlanjutan produksinya harus dijamin melalui
regulasi yang berpihak kepada petani. Dengan penerapan tarif ekspor, pemerintah
berharap pembiayaan peremajaan dapat berkesinambungan dan menjangkau lebih
banyak petani, khususnya di wilayah pesisir.
Sudaryono menambahkan, pemerintah kini tengah mendorong
program peremajaan kelapa milik rakyat dengan dukungan dana dari Badan
Pengelola Dana Perkebunan (BPDP), yang kini tak hanya terfokus pada sawit. BPDP
telah memperluas mandatnya untuk mendukung komoditas perkebunan lain, termasuk
kelapa.
"Kelapa-kelapa kita yang di pesisir-pesisir itu banyak
yang sudah tua dan tinggi-tinggi," jelasnya.
Sementara itu, Menteri Perdagangan Budi Santoso
mengungkapkan bahwa kelapa bulat lebih banyak diekspor karena harga jualnya
lebih tinggi dibanding di pasar domestik. Hal ini menyebabkan pasokan kelapa
dalam negeri menyusut.
"Karena harga ekspor lebih tinggi, banyak pengusaha
mengalihkan stok untuk ekspor. Akibatnya, kelapa menjadi langka di dalam
negeri," ujar Budi dalam pernyataannya di Jakarta, Kamis (17/4).
Budi menyebut pihaknya telah melakukan pertemuan dengan
pelaku industri kelapa dan eksportir untuk membahas lonjakan harga kelapa di
pasar domestik.
Sumber : antaranews.com